NEOLIBERALISME DAN GLOBALISASI
Daryono Soebagyo
………… di Negara Republik Indonesia, semenjak dipilihnya Boediono sebagai
cawapresnya SBY, diskusi tentang “NEOLIBERALISME
(“NEOLIB”) menjadi marak. Namun, diskusinya tidak memberikan
gambaran jelas. Diskusi ini akan mencoba memperkenalkan secara singkat apa itu
Neoliberalisme, apa sebenarnya globalisasi itu? Siapa aktor di belakangnya? Apa
agenda dan mekanismenya? Akhirnya, apa landasan ideologi yang mendasarinya?. Di
samping itu, anda juga akan dapat menilai apakah Boediono itu seorang yang
Neoliberalism atau tidak serta anda juga akan dapat menilai apakah pernyataan di
bawah ini benar atau tidak yaitu : BAHWA
TIM EKONOMI DALAM PEMERINTAHAN DI INDONESIA SEJAK TAHUN 1967 SAMPAI SEKARANG
ADALAH KAUM “NEOLIBERALISME”. Bandingkan isi di tulisan ini
dengan kebijakan maupun pandangan para ekonom di Indonesia.
Dewasa ini, kita tengah mengalami krisis akibat dari kegagalan “DEVELOPMENTALISM”, suatu “MODEL KAPITALISME DUNIA KETIGA ERA
PASCA-KOLONIALISME”. Kegagalan developmentalism pada negara-negara yang dijadikan model
yakni negara-negara yang dianggap paling sukses dan paling banyak dijadikan
contoh bagi kapitalisme. Dunia Ketiga, yakni negara-negarakapitalisme model “NICs (NEWLY INDUSTRIALIST COUNTRIES)”seperti
Korea Selatan dan Taiwan, juga termasuk negara NIC baru seperti Thailand,
Malaysia, dan Indonesia. Sampai saat ini berbagai penjelasan terhadap krisis
itu belum selesai. BERBAGAI PENJELASAN
LEBIH MENYALAHKAN FAKTOR KORUPSI DAN “BAD GOVERNANCE” rezim
negara-negara tersebut sebagai akarkrisis kapitalisme di Asia tersebut. Meskipun demikian, menjelang kejatuhan kapitalisme, “ASIA
DISCOURSE” BARU telah diciptakan untuk mereformasi sistem
kapitalisme tersebut. SEBAGAI SUATU
“REFORMASI” DAN BUKANNNYA SUATU “TRANSFORMASI” maka PENDEKATAN, IDEOLOGI, DAN STRUKTUR “DISCOURSE” BARU
INI TIDAK JAUH BERBEDA DENGAN PENDEKATAN, IDEOLOGI, DAN STRUKTUR YANG DIJADIKAN
LANDASAN BAGI “DEVELOPMENTALISM”,YANG MENGALAMI KRISIS TERSEBUT.
DISCOURSE BARU ITULAH YANG DIKENAL
DENGAN ISTILAH “GLOBALISASI”.
DARI KAPITALISME, DEVELOPMENTALISM, LALU GLOBALISASI
Sadar atau tidak, sebenarnya kini kita tengah
menyaksikan suatu TRANSISI DARI FORMASI
SOSIAL “DEVELOPMENTALISM” KAPITALISME MODEL DI ASIA TIMUR, yang
selama ini dijadikan contoh model pertumbuhandan keberhasilan kapitalisme Dunia
Ketiga ke model globalisasi. Dengan kata lain, saat ini adalah saat berakhirnya
era developmentalism, suatu
proses perubahan sosial pasca Perang Dunia II yang dibangun di atas landasan
paham modernisasi. Namun di negara-negarapusat kapitalisme, jawaban untuk
mempercepat laju kapitalisme telah lama disiapkan bahkan sejak krisis
kapitalisme di tahun 30-an. Jawaban itu adalah “GLOBALISASI KAPITALISME. Namun, sebelum dibahas lebih
jauh apa itu globalisasi, terlebih dulu di sini akan dibahas REFLEKSI PROSES SEJARAHNYA.
Krisis terhadap pembangunan yang terjadi saat ini
pada dasamya merupakan
BAGIAN DARI KRISIS SEJARAH DOMINASI DAN EKSPLOITASI
MANUSIA ATAS MANUSIA YANG LAIN, yang diperkirakan telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses
sejarah dominasi itu pada dasamya dapat dibagi dalam TIGA PERIODE FORMASI SOSIAL.
FASE PERTAMA adalah PERIODE “KOLONIALISME”,
yakni fase dimana perkembangan kapitalisme di Eropa mengharuskan EKSPANSI SECARA FISIK untuk
memastikan perolehan bahan baku mentah. Melalui fase kolonialisme inilah proses
dominasi manusia dengan segenap teori perubahan sosial yang mendukungnya telah
terjadi dalam bentuk penjajahan secara langsung selama ratusan tahun. Meskipun
banyak negara Afrika baru merdeka tahun 70-an namun yang umumnya dianggap
sebagai zaman berakhimya kolonialisme adalah pada saat terjadinya revolusi di
banyak banyak negara jajahan, segera setelah berakhimya Perang Dunia II,
sekitar lima puluh tahun yang lalu.
Berakhimya era kolonialisme, dunia memasuki ERA “NEOKOLONIALISME”, di mana modus
dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan secara langsung melainkan melalui PENJAJAHAN TEORI DAN IDEOLOGI. FASE KEDUA ini dikenal sebagai ERA DEVELOPMENTALISM. Periode ini DITANDAI DENGAN KEMERDEKAAN NEGARA-NEGARA DUNIA
KETIGA SECARA FISIK. Namun, pada era ini DOMINASI NEGARA-NEGARA BEKAS PENJAJAH TERHADAP BEKAS
KOLONI MEREKA TETAP DILANGGENGKAN MELALUI KONTROL TERHADAP TEORI DAN PROSES
PERUBAHAN SOSIAL. Dalam kaitan itulah, sesungguhnya TEORI PEMBANGUNAN ataupun PAHAM “DEVELOPMENTALISM” menjadi
bagian dari media dominasi, karena TEORI
INI DIREKAYASA UNTUK MENJADI “CONTROLLING PATTERN” UNTUK PERUBAHAN SOSIAL DUNIA
KETIGA OLEH NEGARA UTARA. Dengan kata lain, pada fase kedua ini
KOLONIALISASI TIDAK TERJADI SECARA
FISIK, MELAINKAN MELALUI HEGEMONI YAKNI, DOMINASI CARA PANDANG DAN IDEOLOGI SERTA
“DISCOURSE” YANG DOMINAN MELALUI PRODUKSI PENGETAHUAN.
Pembangunan memainkan peran penting dalam fase kedua ini, yang akhimya juga
mengalami krisis.
Pendirian neo-liberalisme ini pada PADA PRINSIPNYA TIDAK BERGESER DARI LIBERALISME YANG
DIPIKIRKAN ADAM SMITH dalam “THE WEALTH OF NATIONS” (1776). Akan tetapi, krisis yang
berkepanjangan menimpa kapitalisme awal abad XIX, yang berdampak depresi
ekonomi tahun 30-an. Akibatnya, tenggelamlah liberalisme dan pendulum beralih
pada perbesaran peran pemerintah sejak ROOSEVELT
dengan “NEW DEAL” nya pada tahun 1935. Perjalanan
kapitalisme selanjutnya sampai di akhir abad XX, di mana PERTUMBUHAN DAN AKUMULASI KAPITAL DARI GOLONGAN
KAPITALIS MELAMBAT. Salah satu SEBABNYA ADALAH PROTEKSI, PAHAM KEADILAN SOSIAL, KESEJAHTERAAN BAGI RAKYAT,
BERBAGAI TRADISI ADAT PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS RAKYAT.
Untuk itu, KAPITALISME MEMERLUKAN
STRATEGI BARU UNTUK MEMPERCEPAT PERTUMBUHAN DAN AKUMULASI KAPITAL.
Maka STRATEGI YANG DITEMPUH
adalah MENYINGKIRKAN SEGENAP RINTANGAN
INVESTASI DENGAN PASAR BEBAS, PERLINDUNGAN HAK MILIK INTELEKTUAL, GOOD
GOVERNANCE, PENGHAPUSAN SUBSIDI DAN PROTEKSI PADA RAKYAT, DEREGULASI, DAN
PENGUATAN “CIVIL SOCIETY” DAN ANTI KORUPSI, dan lain
sebagainya. Untuk itu, DIPERLUKAN suatu
TATANAN PERDAGANGAN GLOBAL,
maka SEJAK ITULAH GAGASAN GLOBALISASI
DIMUNCULKAN. Dengan demikian, GLOBALISASI PADA DASARNYA BERPIJAK PADA KEBANGKITAN KEMBALI LIBERALISME,
SUATU PAHAM YANG DIKENAL SEBAGAI “NEOLIBERALISME”.
Para PENGANUT
NEO-LIBERALISME PERCAYA bahwa PERTUMBUHAN EKONOMI DICAPAI SEBAGAI HASIL NORMAL DARI “KOMPETISI BEBAS”.
KOMPETISI YANG AGRESIF
adalah AKIBAT DARI KEPERCAYAAN BAHWA
“PASAR BEBAS” ITU EFISIEN, DAN ITULAH CARA YANG TEPAT UNTUK MENGALOKASIKAN
SUMBER DAYA ALAM RAKYAT YANG LANGKA UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN MANUSIA.
HARGA BARANG DAN JASA
selanjutnya MENJADI INDIKATOR
APAKAH SUMBER DAYA TELAH HABIS ATAU
MASIH BANYAK. Kalau HARGA MURAH, itu BERARTI PERSEDIAAN MEMADAI. HARGA MAHAL, artinya artinya PRODUKNYA MULAI LANGKA. Bila HARGA TINGGI, maka ORANG AKAN MENANAM MODAL KE SANA.
Oleh sebab itu, HARGA MENJADI TANDA
APA YANG HARUS DIPRODUKSI. INILAH YANG MENJADI ALASAN MENGAPA EKONOMI NEO-LIBERAL TIDAK INGIN
PEMERINTAH IKUT CAMPUR, SERAHKAN SAJA PADA MEKANISME DAN HUKUM PASAR UNTUK
BEKERJA. KEPUTUSAN
INDIVIDUAL ATAS “INTEREST” PRIBADI DIHARAPKAN MENDAPAT BIMBINGAN DARI
“INVISIBLE HAND” SEHINGGA MASYARAKAT AKAN MENDAPAT BERKAH DARI RIBUAN KEPUTUSAN
INDIVIDUAL TERSEBUT. DAN PADA AKHIRNYA, KEKAYAAN YANG DIKUASAI OLEH SEGELINTIR
ORANG TERSEBUT AKAN “TRICKLE DOWN” KEPADA ANGGOTA MASYARAKAT YANG LAIN.
Oleh karena itu, SEGELINTIR ORANG
TERSEBUT PERLU DIFASILITASI DAN DILINDUNGI. KALAU PERLU JANGAN DIKENAKAN PAJAK.
Apa yang menjadi PENDIRIAN
NEO-LIBERALISME sesungguhnya DITANDAI DENGAN KARAKTER KEBIJAKAN PASAR BEBAS YANG MENDORONG
PERUSAHAAN-PERUSAHAAN SWASTA DAN PILIHAN KONSUMEN, PENGHARGAAN ATAS TANGGUNG
JAWAB PERSONAL DAN INISIATIF KEWIRASWASTAAN, SERTA MENYINGKIRKAN BIROKRAT DAN
PARASIT PEMERINTAH, yang tidak akan pemah mampu meskipun
dikembangkan. ATURAN DASAR KAUM
NEO-LIBERAL adalah “LIBERALISASIKAN
PERDAGANGAN DAN FINANCE”, BIARKAN PASAR MENENTUKAN HARGA, AKHIRI INFLASI, STABILISASI EKONOMI
MAKRO, PRIVATISASI, SINGKIRKAN PERAN PEMERINTAH” (CHOMSKY, 1999). Paham inilah yang
saat ini mengglobal dengan mengembangkan “KONSENSUS”
YANG DIPAKSAKAN, dikenal sebagai “GLOBALISASI”, sehingga terciptalah
suatu tata dunia. Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam apa yang dikenal
sebagai “THE NEO-LIBERAL WASHINGTON
CONSENSUS, yang terdiri dari para pembela ekonomi privat
terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol dan menguasai
ekonomi intemasional dan memiliki kekuasaan untuk mendominasi informasi
kebijakan dalam rangka membentuk opini publik.
Ada SEPULUH AJARAN YANG DILAHIRKAN
DARI “THE WASHINGTON CONSENSUS”tersebut. Apa yang mereka sebut
sebagai ‘reformasi’ itu pada dasarnya berpijak pada ketentuan yang ditetapkan
mereka. Ketentuan reformasi inilah yang juga disebut sebagai “KEBIJAKAN PASAR BEBAS” dan “NEO-LIBERAL tersebut.
Kesepuluh ajaran neo-liberal tersebut
adalah sebagai berikut:
(1) DISIPLIN FISKAL, yang intinya adalah
memerangi defisit perdagangan;
(2) PUBLIC EXPENDITURE atau anggaran
pengeluaran untuk publik, kebijakan ini berupa memprioritaskan anggaran belanja
pemerintah melalui pemotongan segala subsidi;
(3) PEMBAHARUAN PAJAK seringkali berupa
pemberian kelonggaran bagi para pengusaha untuk kemudahan pembayaran pajak;
(4) LIBERALISASI KEUANGAN, berupa
kebijakan bunga bank yang ditentukan oleh mekanisme pasar;
(5) NILAI
TUKAR UANG YANG KOMPETITIF, berupa kebijakan untuk melepaskan
nilai tukar uang tanpa kontrol pemerintah;
(6) TRADE LIBERALISATION BARRIER, yakni kebijakan untuk menyingkirkan segenap hal yang menganggu perdagangan
bebas, seperti kebijakan untuk mengganti segala bentuk lisensi perdagangan
dengan tarif dan pengurangan bea tarif;
(7) FOREIGN DIRECT INVESTMENT, berupa kebijakan untuk menyingkirkan segenap aturan pemerintah yang
menghambat pemasukan modal asing;
(8) PRIVATISASI, yakni kebijakan untuk
memberikan semua pengelolaan perusahaan negara kepada pihak swasta;
(9)
DEREGULASI KOMPETISI,
(10)
INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS atau PATEN.
SECARA
LEBIH SPESIFIK, POKOK-POKOK PENDIRIAN NEO-LIBERAL MELIPUTI BEBERAPA HAL.
PERTAMA,
bebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah, misalnya jauhkan
pemerintah dari campur tangan di bidang-bidang perburuhan, investasi, dan
harga, serta biarkan mereka mempunyai ruang untuk mengatur diri sendiri untuk
tumbuh dengan menyediakan kawasan pertumbuhan, seperti Otorita Batam, NAFTA (North American Free Trade Agreement), SIJORI (Singapore, Johor, and Riau), dan lain
sebagainya. KEDUA,
hentikan subsidi negara kepada rakyat, karena hal itu selain bertentangan
dengan prinsip neo-liberal
tentang jauhkan campur tangan pemerintah, juga bertentangan dengan prinsip
pasar dan persaingan bebas. Oleh karena itu, pemerintah juga harus melakukan
privatisasi semua perusahaan milik negara, karena perusahaan negara pada
dasamya dibuat untuk melaksanakan subsidi negara pada rakyat, dan itupun
menghambat persaingan bebas.
KETIGA, hapuskan ideologi ‘kesejahteraan
bersama’ dan pemilikan komunal seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat
‘tradisional’. Paham kesejahteraaan dan pemilikan bersama mereka menghalangi
pertumbuhan. Akibat dari prinsip tersebut adalah serahkan ‘manajemen’ sumber
daya alam pada ahlinya, dan bukan kepada masyarakat ‘tradisional’ (sebutan bagi
masyarakat adat) yang tidak mampu mengelola sumber daya alam secara efisien dan
efektif.
FORMASI SOSIAL GLOBALISASI
Globalisasi pada dasarnya merupakan proses pesatnya perkembangan
kapitalisme, yang ditandai dengan globalisasi pasar, investasi, dan proses
produksi dari Perusahaan-perusahaan Trans-nasional (TNCs/ TRANS NATIONAL CORPORATIONS) dengan
dukungan Lembaga-lembaga Finansial Internasional (IFIs/INTERNATIONAL FINANCIAL INSTITUSIONS) yang
diatur oleh Organisasi Perdagangan Global (WTO/WORLD TRADE ORGANIZATION). Globalisasi muncul
bersamaan dengan fenomena runtuhnya kapitalisme Asia Timur. Era baru tersebut
mencoba meyakinkan rakyat miskin di Dunia Ketiga seolah-olah merupakan arah
baru yang menjanjikan harapan kebaikan bagi umat manusia dan menjadi keharusan
sejarah manusia di masa depan. Namun globalisasi juga melahirkan kecemasan bagi
mereka yang memikirkan permasalahan sekitar pemiskinan rakyat dan marginalisasi
rakyat, serta persoalan keadilan sosial. Sementara itu, negara miskin dunia
masih menghadapi krisis hutang dan krisis ‘over
produksi’ warisan pembangunan tahun 80-an, serta akibat dampak
negatif dari kampanye internasional yang dulu dikumandangkan oleh the Bretton Woods Institutions tentang model pembangunan ekonomi
‘pertumbuhan’, suatu paradigma pembangunan mainstream
yang berakar pada paradigma dan teori ekonomi neo-klasik dan
modernisasi. Namun di pihak lain muncul gejala lain yakni makin menguatnya
peran organisasi non pemerintah (ornop) dan gerakan sosial secara global, serta
bangkitnya masyarakat sipil (civil society)
baik di Utara maupun Selatan. Seperti telah disinggung sebelumnya,
sebelum krisis developmentalism terjadi,
suatu “MODE OF DOMINATION” baru
telah disiapkan yakni era globalisasi, sebagai ‘periode ketiga’ yang ditandai
dengan liberalisasi segala bidang yang dipaksakan melalui “STRUCTURAL ADJUSMENT PROGRAM”oleh
lembaga finansial global, dan disepakatinya oleh rezim GATT (GENERAL AGREEMENT ON TARIFF AND TRADE)
dan Perdagangan Bebas (FREE TRADE) suatu
organisasi global yang dikenal dengan WTO. Sejak saat itulah suatu era baru
telah muncul menggantikan era sebelumnya, dan dengan begitu dunia memasuki
periode yang dikenal dengan globalisasi. SECARA
LEBIH TEGAS YANG DIMAKSUD DENGAN GLOBALISASI ADALAH PROSES PENGINTEGRASIAN
EKONOMI NASIONAL KEPADA SISTEM EKONOMI DUNIA BERDASARKAN KEYAKINAN PERDAGANGAN
BEBAS, yang sesungguhnya telah dicanangkan sejak zaman
kolonialisme. PARA TEORITISI KRITIS
SEJAK LAMA SUDAH MERAMALKAN BAHWA PERKEMBANGAN KAPITALISME AKAN BERKEMBANG
MENUJU PADA DOMINASI EKONOMI, POLITIK DAN BUDAYA BERSKALA GLOBAL SETELAH
PERJALANAN PANJANG MELALUI ERA KOLONIALISME.
Jadi dengan demikian ‘globalisasi’ secara sederhana dipahami sebagai suatu
proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem
ekonomi global. Namun, jika ditinjau dari sejarah perkembangan ekonomi,
globalisasi pada dasamya merupakan salah satu fase dari perjalanan panjang
perkembangan kapitalisme liberal, yang secara teoretis sebenarnya telah
dikembangkan oleh Adam Smith. Meskipun globalisasi dikampanyekan sebagai era
masa depan, yakni suatu era yang menjanjikan ‘pertumbuhan’ ekonomi secara
global dan akan mendatangkan kemakmuran global bagi semua, namun sesungguhnya GLOBALISASI ADALAH KELANJUTAN DARI KOLONIALISME DAN
“DEVELOPMENTALISM” SEBELUMNYA. Globalisasi yang ditawarkan
sebagai jalan keluar bagi kemacetan pertumbuhan ekonomi bagi dunia ini, sejak
awal oleh kalangan ilmu sosial kritis dan yang memikirkan perlunya tata dunia
ekonomi yang adil serta kalangan yang melakukan pemihakan terhadap yang lemah,
telah mencurigainya sebagai bungkus baru dari imperialisme dan kolonialisme.
MEKANISME KERJA GLOBALISASI
Kapan proyek globalisasi resmi mulai berjalan? Globalisasi terjadi sejak
diberlakukannya secara global suatu mekanisme perdagangan melalui penciptaan
kebijakan “FREE TRADE”, yakni
berhasil ditandatanganinya kesepakatan internasional tentang perdagangan pada
bulan April 1994 setelah melalui proses yang sulit di Marrakesh, Maroko, yakni
suatu perjanjian internasional perdagangan yang dikenal dengan GATT. GATT
sesungguhnya
merupakan suatu kumpulan aturan internasional yang mengatur perilaku
perdagangan antar pemerintah. GATT juga merupakan forum negosiasi perdagangan
antar pemerintah, serta juga merupakan pengadilan dimana jika teradi
perselisihan dagang antar bangsa bias diselesaikan. Kesepakatan itu dibangun di
atas asumsi bahwa sistem dagang yang terbuka lebih efisien dibanding sistem
yang proteksionis, dan dibangun di atas keyakinan bahwa persaingan bebas akan
menguntungkan bagi negara yang efektif dan efiesien. Pada tahun 1995 suatu
organisasi pengawasan perdagangan dan kontrol perdagangan dunia yang dikenal
dengan ‘WTO didirikan, dan sejak saat itu dia mengambil alih fungsi GATT. WTO
dirancang bukanlah sebagai organisasi monitoring
bagi negara-negara yang tidak mematuhi GATT, akan tetapi WTO
bertindak berdasar komplain yang diajukan oleh anggotanya. Dengan demikian WTO
merupakan salah satu aktor dan arena forum perundingan antar perdagangan dari
mekanisme globalisasi yang terpenting.
Jika WTO adalah forum kesepakatan perdagangan tingkat global maka di
tingkat regional forum serupa untuk menetapkan kebijakan perdagangan juga
ditetapkan. Ada beberapa perjanjian dengan area yang lebih kecil, misalnya “NORTH AMERICAN FREE TRADE AGREEMENT (NAFTA)”
antara Amerika Serikat dan Meksiko, tapi juga ada kesepakatan yang bersifat
regional seperti “ASIA PACIFIC ECONOMIC
CONFERENCE (APEC)”. Bahkan ada kesepakatan area pertumbuhan
yang lebih kecil lagi seperti segitiga pertumbuhan SINGAPORE, JOHOR, AND RIAU (SIJORI)
ataupun BRUNEI, INDONESIA, MALAYSIA,
AND PHILIPPINES EAST GROWTH AREA (BIMPEAGA). Bahkan
kawasan-kawasan pusat pertumbuhan ekonomi yang lebih kecil, seperti Otorita
Batam, adalah bentuk terkecil dari kesepakatan dagang yang memiliki kesepakatan
kebijakan tersendiri dan otonom. Kesemua persepakatan tersebut merupakan
forum-forum seperti WTO dalam skala yang lebih kecil dan lokal. Sementara itu
ada mekanisme dan ’struktur ekonomi’ yang dikembangkan selain forum perundingan
tersebut dalam sistem globalisasi, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan
janjinya sebagai proses ekonomi global untuk kepentingan kesejahteraan umat
manusia secara global. Ada SEJUMLAH
ELEMEN YANG MERUPAKAN ANATOMI DARI GLOBALISASI.
PERTAMA, adalah PENCIPTAAN MEKANISME “SISTEM GLOBALISASI DAN PROSES
PRODUKSI”. Konsolidasi sistem “FABRICATION” dunia pada dasamya merupakan usaha
penciptaan hierarki jaringan produksi dan perdagangan skala global dari TNCs.
Proses ekspansi sistem produksi global ini dikembangkan melalui penciptaan dan
pengalokasian ZONE PROSES EKSPOR
(EPZs/EXPORT PROCESSING ZONES). “EPZs” adalah SUATU
WILAYAH NEGARA YANG DIKHUSUSKAN SEBAGAI EKSPOR INDUSTRI DENGAN SYARAT MAMPU DAN
MAU MENGEMBANGKAN ATURAN “DUANE” YANG MINIMAL MENYANGKUT ATURAN PERBURUHAN DAN
PAJAK DOMESTIK SEHINGGA MENJADI DAYA TARIK TNCs UNTUK BEROPERASI.
EPZs tersebut juga dikembangkan di berbagai wilayah negara-negara Dunia Ketiga
yang memiliki standar upah buruh murah karena
negara-negara itu tengah mencari investasi dan perlu uang dari ekspor.
Itulah karenanya, sebagian besar tenaga kerja wilayah EPZs ini adalah buruh
perempuan. Mirip dengan strategi EPZs adalah apa yang dikenal dengan “GLOBAL LABOR-FORCE”yang dikembangkan
melalui spesialisasi dan menjadi divisi buruh seperti bekerja dalam pabrik
berskala global, yang dikembangkan melalui konsep “INTERNATIONAL DIVISION OF LABOR”.
GLOBALISASI PERUSAHAAN-PERUSAHAAN TRANSNASI’ONAL (TNCs) Pada dasamya, semua proses pengintegrasian ekonomi nasional menjadi
ekonomi global (globalisasi) merupakan harapan dan hasil perjuangan dari
perusahaan-perusahaan trans-nasional, karena pada dasamya mereka yang akan
diuntungkan proses tersebut. Selama dua dasawarsa menjelang berakhirnya abad
milenium, perusahaan-perusahaan transnasaional tersebut (TNCs) meningkat
jumlahnya secara pesat dari sekitar 7.000 TNCs pada tahun 1970 menjadi 37.000
TNCs di 1990. Selain jumlahnya meningkat, TNCs juga sangat menguasai
perkonomian dunia. Kekuatan ekonomi TNCs yang luar biasa tersebut akan semakin
bertambah jika globalisasi berjalan. Pada saat yang lalu saja mereka berhasil
menguasai 67% perdagangan dunia antar TNCs dan menguasai 34,1% total
perdagangan global. Lebih lanjut TNCs juga telah menguasai 75% total investasi
global. Ada 100 TNCs dewasa ini yang menguasai ekonomi dunia. Mereka mengontrol
sampai 75% perdagangan dunia.
INTERNATIONAL FINANCIAL INSTITUTIONS (IFIs)
Selain WTO dan TNCs, aktor ketiga yang memainkan peran besar dalam
globalisasi adalah LEMBAGA-LEMBAGA
FINANSIAL INTERNASIONAL (IFIs), yang sering juga disebut ‘MULTILATERAL DEVELOPMENT BANKS’.
IFIs merupakan organisasi global yang beranggotakan negara-negara maju, BERTUGAS MEMBERI HUTANG KEPADA NEGARA-NEGARA MISKIN.
Ada dua IFIs yang secara global dikenal yakni BANK DUNIA (WORLD BANK) DAN IMF (INTERNATIONAL MONETARY FUND).
IMF ini adalah
organisasi yang paling berkuasa di abad XX. Organisasi yang berpusat di
Washington D.C. ini MEMILIKI MISI
untuk MENGUPAYAKAN STABILITAS KEUANGAN
DAN EKONOMI MELALUI PEMBERIAN HUTANG SEBAGAI BANTUAN TEMPORER, GUNA MERINGANKAN
PENYESUAIAN NERACA PEMBAYARAN DENGAN SUATU “KONDISIONALITAS” YANG DITENTUKAN.
IMF saat ini beranggotakan 182 negara. Namun, Amerika Serikat sesungguhnya yang
paling berkuasa atas segala keputusan IMF karena negara tersebut memiliki hak
voting mencapai 17,8%, selain Amerika Serikat tidak ada yang memiliki hak
voting lebih dari 6%. Sementara mayoritas negara anggota hanya memiliki kurang
dari l%. Padahal mula dicetuskan oleh “KEYENES”
DAN “DEXTER”, melalui kesepakatan “BRETTON WOODS” IMF bertujuan untuk
menciptakan lembaga demokratis yang menggantikan kekuasaan para bankir dan
pemilik capital internasional yang dituduh bertanggung jawab atas resesi tahun 30-an.
Selain IMF, IFIs lain yang sangat berkuasa yakni Bank Dunia. BANK DUNIA pada dasarnya adalah LEMBAGA PEMBERI HUTANG MULTILATERAL TERDIRI ATAS EMPAT LEMBAGA KEUANGAN
yang saling berkaitan, yakni BANK
INTERNASIONAL UNTUK REKONSTRUKSI (IBRD), ASOSIASI PEMBANGUNAN INTERNASIONAL (IDA),
KORPORASI KEUANGAN INTERNASIONAL (IFC),
dan LEMBAGA PENJAMIN INVESTASI
BILATERAL (MIGA). IBRD ini yang lebih sering disebut sebagai
Bank Dunia, tugas utamanya adalah memberi hutang pada Negara berkembang yang
layak menerima. Bank Dunia mempunyai misi sebagai lembaga internasional yang
membantu mengurangi kemiskinan dan membiayai investasi untuk pertumbuhan
ekonomi. Namun berbagai program Bank Dunia seperti “STRUCTURAL ADJUSMENT PROGRAMME” telah
mengkhianati misi utamanya ’sebagai lembaga demokratis maupun lembaga yang
membantu mengurangi kemiskinan’. IA
MENJADI LEMBAGA PENDUKUNG UTAMA MODEL EKONOMI NEO-LIBERAL YANG AKAN
MEMARGINALKAN JUTAAN PENDUDUK MISKIN SECARA GLOBAL. Hal ini
karena kebijakan-kebijakan mereka yang memang tidak ada kaitannya terhadap
penghapusan kemiskinan, misalnya kebijakan IMF tentang liberalisasi perdagangan
dan penghapusan kuota dan tarif, privatisasi perusahaan negara, privatisasi
lahan pertanian dan agribisnis, akan membawa dampak negatif terhadap kelompok
miskin dan petani marginal.
Penjelasan
singkat di atas menunjukkan bahwa ada aktor-aktor lain yang mainkan peran dalam
globalisasi, yang bahkan merupakan lembaga-lembaga yang sangat berkuasa dan
justru menentukan di belakang layar pada semua proses di WTO. Mereka itu adalah
IFIs dan TNCs. Merekalah sebenarnya yang berada di balik semua proses
persepakatan dalam WTO tersebut. Mereka adalah perusahaan-perusahaan
trans-nasional yang sangat berkepentingan melalui mekanisme globalisasi sistem
produksi, investasi dan globalisasi pasar yang pengaturan mekanisme dari semua
sistem produksi dan pasar tersebut ditetapkan di WTO. Dengan demikian, forum
WTO selanjutnya pada hakikatnya menjadi arena perjuangan bagi perusahaan
perusahaan trans-nasional untuk mewujudkan cita-cita mereka menguasai dunia.
Hal itu berarti segala proses dan mekanisme globalisasi juga merupakan
perebutan kekuasaan ekonomi dari kekuasaan negara-negara kepada TNCs. Dari
uraian di atas, dapat dikonstruksi konsep dan mekanisme globalisasi sebagai
proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi dunia yang
diperankan oleh tiga aktor utamanya: pertama, TNCs yang dengan dukungan
negara-negara yang diuntungkan olehnya mereka membentuk suatu dewan
perserikatan pedagangan global yang dikenal dengan WTO yang menjadi aktor
kedua, serta aktor ketiga adalah lembaga keuangan global/IMF dan Bank Dunia.
Ketiga aktor globalisasi tersebut selanjutnya selain menetapkan aturan-aturan
seputar investasi, Intellectual Property
Rights (IPRs), dan kebijakan internasional lainnya, juga mendesak,
mempengaruhi, ataupun memaksa negara-negara untuk melakukan penyesuaian
kebijakan nasionalnya demi memperlancar pengintegrasian ekonomi nasional ke
dalam ekonomi global. Proses memperlicin jalan pengintegrasian tersebut
ditempuh dengan cara memaksa mengubah semua aturan, kebijakan yang menghalangi
ketiga aktor-aktor globalisasi, terutama TNCs untuk beroperasi dalam bentuk
ekspansi produksi, pasar, maupun investasi. Dengan demikian, sesungguhnya GLOBALISASI SESUNGGUHNYA TIDAK ADA SANGKUT-PAUTNYA
DENGAN KESEJAHTERAAN RAKYAT ATAUPUN KEADILAN SOSIAL DI NEGARA-NEGARA DUNIA
KETIGA MELAINKAN DIDORONG MOTIF KEPENTINGAN PERTUMBUHAN DAN AKUMULASI KAPITAL
BERSKALA GLOBAL.
Surakarta,
Medio: 15 Mei 2012
(untuk diskusi bersama Mahasiswa
IESP FE UMS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar