DARYONO SOEBAGYO
Kamis, 02 Juli 2015
Jumat, 22 Mei 2015
Selidiki Dugaan Korupsi di Petral
Menyusul
kedatangan mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri untuk
menemui Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Polri
Brigjen Victor Edison Simanjuntak, Kamis 21 Mei 2015, untuk memaparkan tentang
disribusi minyak dan gas di Indonesia yang dikuasai oleh anak perusahaan
Pertamina berbadan hukum Singapura Pertamina Trading Limited (Petral) dan oleh
pemerintah telah dibubarkan karena dugaan ada praktek mafia migas dalam
operasional bisnis Pertamina.( baca: Peran
Petral dalam Pengadaan Minyak untuk Pertamina Akhirnya Tamat )
Direktur
Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Polri Brigjen Victor
Edison Simanjuntak menegaskan bahwa Bareskrim Polri tertarik untuk melakukan
penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi.dalam pengadaan minyak mentah oleh
Pertamina.
"Setiap
korupsi kita tertarik menangani kalau ada yang melaporkan," kata Victor
Panjaitan di Mabes Polri, Jumat (22 Mei 2015)
Menurut
Victor Panjaitan Informasi awal dari dugaan korupsi di Petral akan digali dari
Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai oleh Faisal Basri dan
Faisal Basri sendiri sudah memberikan penjelasan awal dalam Koordinasi,
konsultasi dan diskusi dengan Bareskrim Polri Kamis 21 Mei 2015 kemarin
(baca:Bareskrim
Polri Tidak Undang Faisal Basri, Dia Berinisiatif Lapor ke Polisi secara
Pribadi )
Victor
Panjaitan juga menjelaskan bahwa belum ada laporan tentang adanya dugaan
korupsi karena kedatangan Faisal Basri ke Gedung Bareskrim Polri hanya
koordinasi . “Hanya koordinasi saja," ungkap Victor
Faisal
memang datang atas inisiatif sendiri untuk berkoordinasi dan bukan melapor.
"Saya tidak mengundang. Hanya beliau mungkin percaya pada Polri, datang
kepada saya untuk koordinasi dan bicara, bukan lapor. Itu inisiatifnya
sendiri," Kata Victor menjelaskan
Kamis, 10 Juli 2014
Senin, 07 Juli 2014
EFISIENSI DEA DAYA SAING DI JAWA TENGAH
Hasil
Pengukuran Efisiensi dengan Metoda DEA
Pengukuran lima belas Kabupaten/kota di Jawa Tengah dengan
menggunakan metoda DEA (Data Envelopment
Analysis) menunjukkan ada 11 Kabupaten/Kota atau 73,33 persen daerah yang
masuk dalam kategori efisien, yaitu Kabupaten Boyolali, Kabupaten Karanganyar,
Kabupaten Kendal, Kota Semarang, Kota Magelang, Kota Pekalongan, Kabupaten
Purworejo, Kota Salatiga, Kabupaten Sukoharjo, Kota Surakarta, dan Kabupaten
Wonogiri. sedangkan 4 daerah Kabupaten/Kota lainnya atau 26,66 persen daerah
termasuk dalam kategori tidak efisien (lihat Gambar 5.4.). Tingginya tingkat
efisiensi Kota/kabuapten dipengaruhi oleh tingginya capaian indikator output,
yaitu besarnya petumbuhan ekonomi PDRB per kapita yang tidak dapat dipisahkan
dari tingginya kontribusi sektor pertanian yang dominan menjadi sektor unggulan
dimasing-msing daerah, namun selain itu juga tidak lepas dari kontribusi sektor
lain-lainnya.
Daerah
yang mempunyai tingkat efisiensi yang mencapai angka 1 adalah Kabupaten
Boyolali, Kabupaten Karanganyar, Kota Kendal, Kota Semarang, Kota Magelang,
Kota Pekalongan, Kabupaten Purworejo, Kota Salatiga, Kabupaten Sukoharjo, Kota
Surakarta, dan Kabupaten Wonogiri. Dari 11 daerah yang mempunyai tingkat
efisiensi tinggi, ada 5 daerah yang berstatus Kota dan hanya 6 daerah yang
berstatus Kabupaten. Adapun daerah yang tidak efisien yang berjumlah 4 daerah
semuanya berstatus kabupaten. Hal ini menunjukkan adanya indikasi bahwa daerah
kota cenderung lebih efisien dibandingkan daerah kabupaten dalam memanfaatkan
input yang ada untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita.
Kabupaten
Sukoharjo, Kabupaten Boyolali dan Klaten merupakan tiga daerah yang saling berbatasan
dan bertetangga, namun hasil perhitungan tingkat efisiensinya sangat berbeda
jauh, dimana Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Boyolali memiliki tingkat
efisisensi 1 (satu) dan menjadi Bencmarks oleh kabupaten lainnnya, tetapi
kabupaten Klaten malah menjadi salah satu dari kabupaten/kota yang tidak
efisien. Sementara itu, kota-kota besar seperti Kota Surakarta dan kota
Semarang menunjukan tingkat efisien 1 (satu) namun dari sisi efisiensi tidak
banyak memberikan kontribusi (benchmarks) terhadap daerah/Kabupaten lainnya.
Sama halnya dengan kota lainnya yang relative lebih kecil seperti Kota
Pekalongan dan Kota Salatiga yang menunjukkan tingkat efisiensi 1 (satu) namun
juga tidak berkontribusi (benchmarks) ke daerah lainnya bahkan daerah
tetangganya. Bahkan Kota Magelang yang efisien tidak berkontribusi sama sekali
terhadap kota/daerah lainnya. Tidak sama dengan daerah berstatus kabupaten yang
memiliki efisiensi dominan memberikan kontribusi kepada daerah lainnya, meski
begitu tetap ada daerah kabupaten yang efisien namun tidak berkontribusi sama
sekali seperti kabupaten Wonogiri. Hasil estimasi tingkat efisiensi antar 15
daerah kabupaten/kota. di Jawa Tengah.
Tabel Penentuan DMU Berdasarkan Tingkat Efisiensi
dan Benchmarks
No.
|
DMU
|
Tingkat
efisiensi
|
Jumlah
|
Benchmarks
|
1
|
Kab. Boyolali
|
1
|
2
|
Kebumen, Klaten
|
2
|
Kab. Karanganyar
|
1
|
1
|
Semarang
|
3
|
Kab. Kendal
|
1
|
1
|
Klaten
|
4
|
Kota Semarang
|
1
|
1
|
Semarang
|
5
|
Kota Magelang
|
1
|
0
|
-
|
6
|
Kota Pekalongan
|
1
|
1
|
Semarang
|
7
|
Kab.Purworejo
|
1
|
2
|
Kebumen, Sragen
|
8
|
Kota Salatiga
|
1
|
1
|
Sragen
|
9
|
Kab. Sukoharjo
|
1
|
4
|
Kebumen, Klaten, Semarang, Sragen
|
10
|
Kota Surakarta
|
1
|
1
|
Semarang
|
11
|
Kab. Wonogiri
|
1
|
0
|
-
|
Sumber: Hasil
Perhitungan DEA, 2011
Secara
umum beberapa daerah yang mempunyai tingkat efisiensi dapat menjadi patokan (benchmarks) bagi daerah-daerah yang
belum efisien sebagaimana pada
Tabel 5.20. Daerah
yang mempunyai tingkat
efisiensi yang menjadi patokan
(benchmarks) adalah
Kabupaten Boyolali untuk 2
daerah, Kabupaten Karanganyar untuk 1
daerah, dan Kabupaten Kendal untuk 1 daerah. Kota Semarang untuk 1 daerah, Kota
Pekalongan untuk 1 daerah, Kabupaten Purworej untuk 2 daerah, Kota Slatiga
untuk 1 daerah, Kabupaten Sukoharjo untuk 4 daerah dan Kota Surakarta untuk 1
daerah.
Sementara
itu, tidak semua daerah yang mempunyai tingkat efisiensi menjadi patokan (benchmarks) bagi daerah lainnya yang
belum efisien. Hanya Kota Magelang dan Kabupaten Wonogiri yang tidak menjadi
patokan (benchmarks) bagi
daerah-daerah lainnya. Meskipun Kota Magelang dan Kabupaten Wonogiri mempunyai
tingkat efisiensi. Kota Magelang dan Kabupaten Wonogiri termasuk kategori
daerah yang efisien karena capaian indikator outputnya dilihat dari pertumbuhan
ekonomi daerahnya relatif tinggi. Namun jika dibandingkan dengan daerah-daerah
lainnya yang juga termasuk kategori efisien, maka kedudukan kedua daerah
tersebut dalam capaian pertumbuhan ekonomi daerah masih relatif lebih rendah
dibandingkan daerah lainnya seperti Kabupaten Sukoharjo Kabupaten Boyolali, dan
Kabupaen Purworejo, yang menjadi patokan (benchmarks)
bagi daerah-daerah lainnya dalam hal pertumbuhan ekonomi.
Selasa, 22 Oktober 2013
PERANAN ILMU EKONOMI SEBAGAI LANDASAN PEREKONOMIAN BANGSA DAN NEGARA
PERANAN ILMU EKONOMI SEBAGAI LANDASAN PEREKONOMIAN BANGSA DAN NEGARA 1)
Oleh:
Dr. Daryono Soebagyo, MEc 2)
Persoalan ekonomi
menyangkut kebutuhannya hidup (ma’isyah) di sediakan
untuk mencukupi maisahnya manusia. Supaya manusia selalu bersyukur, syukur
artinya adalah bertindak yang tepat . Kalau berbicara mengenai ekonomi, maka tentu saja
kembali pada Hudan adalah Petunjuk, jangan kepada hawa yaitu keinginan dirinya. Kalau
menangani maisyah tidak mengindahkan petunjuk, akan mengalami kesulitan. Maka manusia tidak hanya ditempatkan di bumi,
tetapi bumi seisinya, dibuat untuk manusia tadi. Tidak hanya bumi
diberikan untuk kamu manusia, tetapi, supaya yang diberikan itu diolah untuk
mencapai akherat (kampung akherat dan masa depan).
IILMU EKONOMI
Ilmu Ekonomi memberi dan
mengajarkan beberapa hal tentang sikap efisien... apabila penerapannya baik...
maka kemakmuran tentunya akan tercipta: 1). Secara perorangan. Di mana dalam pengambilan keputusan-keputusan
di dalam hidupnya, seringkali pertimbangan-pertimbangan ekonomis amat
berpengaruh, misalnya apa kebutuhan hari ini. 2). Dunia Usaha. Tujuan seorang pengusaha adalah memperoleh
laba. Dalam rangka memperoleh laba tersebut, di sinilah hadir ilmu ekonomi. Contoh
: Memastikan bentuk pasar apa yang dihadapi pengusaha tersebut, penentuan harga
produk, penentuan pemasaran produk, penentuan upah karyawan, dan sebagainya. 3).
Bangsa dan Negara. Faktor-faktor ekonomi amat berpengaruh pada
kemampuan suatu bangsa untuk menangani persoalan dalam dan luar negeri.
Kemajuan ekonomi menjadi penopang negara untuk bangkit sebagai negara besar
atau sebaliknya, terbukti dengan adanya pembagian negara maju, negara
berkembang, dan negara tertinggal.
Salah satu fungsi
dan tujuan didirikannya sebuah negara adalah menciptakan kesejahteraan dan
kemakmuran bagi bangsanya. Oleh karena itu, keberfungsian sebuah negara
tergambar pada seberapa sejahtera dan makmur bangsanya. Dalam teori ekonomi,
kesejahteraan dan kemakmuran sebuah negara dapat diukur melalui sejumlah
indikator. Dua di antaranya adalah Produk Domestik Bruto (PDB) per Kapita dan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
TATANAN PEREKONOMIAN BAGI INDONESIA
Berdasarkan data
dari indikator PDB dan IPM tersebut, Indonesia hingga tahun 2012 masih berada
jauh di bawah Negara maju di kawasan Asia seperti Jepang dan Korea Selatan.
Bahkan di Asia Tenggara, dilihat dari IPMnya, Indonesia masih berada di bawah
Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Filipina. Indonesia hanya berada
lima tingkat di atas Vietnam dan 12 tingkat di atas Timor Leste. Hal tersebut,
ditambah dengan masih lebarnya kesenjangan antara “si kaya” dan “si miskin”.
mengindikasikan bahwa negara dan bangsa kita masih harus bekerja keras
dan—mungkin lebih tepat— bekerja cerdas untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran Bangsanya. Kaitan antara tingkat pencapaian kesejahteraan dan
kemakmuran dengan tatanan ekonomi nasional, khususnya kedudukan ekonomi
kerakyatan yang “diwakili” oleh koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, Negara Indonesia didirikan
dengan tujuan untuk melindungi segenap Rakyat Indonesia dan seluruh tanah
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pengejawantahan dari
amanat Undang Undang Dasar 1945 tersebut, khususnya yang berkaitan dengan frasa
“memajukan kesejahteraan umum,” pada hakekatnya merupakan tugas semua
elemen bangsa, yakni rakyat di segala lapisan di bawah arahan pemerintah. Tidak
terlalu salah jika, mengacu pada definisi tujuan pendirian negara yang mulia
tersebut, kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia harus dicapai dengan
menerapkan prinsip “dari, oleh, dan untuk rakyat.”
Konsep tersebut
telah jauh-jauh hari dipikirkan oleh Bung Hatta-jauh sebelum Schumacher-yang
terkenal dengan bukunya Small is Beautiful, dan Amartya Sen-pemenang
Nobel 1998 Bidang Ekonomi, berpendapat bahwa ekonomi kerakyatan merupakan
bentuk perekenomian yang paling tepat bagi bangsa Indonesia. Orientasi utama dari ekonomi
kerakyatan adalah rakyat banyak, bukan sebagian atau sekelompok kecil orang.
Pandangan tersebut lahir, jauh sebelum Indonesia merdeka oleh beberapa tokoh
ekonomi Indonesia seperti M.Hatta, Sarbini Soemawinata. Lebih jauh, pemikiran
mengenai pentingnya perekonomian yang berpihak kepada rakyat menjadi dasar bagi
lahirnya Pasal 27 dan 33 Undang Undang Dasar 1945. Kedua pasal tersebut kemudian
menjadi dasar pertimbangan dilahirkannya Undang Undang Perkoperasian (UU
Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992) dan Undang Undang Usaha Kecil dan
Menengah (UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008). Dengan demikian, tampak
jelas adanya keterkaitan yang erat antara ekonomi kerakyatan dengan koperasi
dan usaha kecil dan menengah.
Bahasan tentang
peran kedua sektor usaha tersebut (koperasi dan usaha kecil dan menengah) dalam
mewujudkan ekonomi kerakyatan relatif jarang mengemuka. Tetapi, berkaca pada keadaan
ekonomi saat ini yang sepertinya baik—sebagaimana diindikasikan oleh tingkat
pertumbuhan ekonomi tahun 2012 sebesar 6.0 persen—tetapi dibarengi oleh
kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin yang semakin melebar—sebagaimana
diindikasikan oleh fakta yang menunjukkan bahwa dua persen penduduk terkaya
menguasai asset nasional sebesar 46 persen dan 98 persen penduduk menguasai 54
persen asset nasional, bahasan tentang ekonomi kerakyatan dan kaitannya
keberadaan koperasi dan usaha kecil dan menengah dalam tatanan ekonomi nasional
Indonesia tentu saja menjadi relevan.
HAKEKAT
TATANAN EKONOMI BAGI BANGSA INDONESIA
Ekonomi kerakyatan
adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan,
berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan kepemihakan
sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat (Mubyarto, 2002). Lebih jauh ia menjelaskan
bahwa berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial membutuhkan
syarat yang sudah tentu harus dipenuhi. Syarat dimaksud adalah adanya (i)
kedaulatan di bidang politik, (ii) kemandirian di bidang ekonomi, dan (iii)
kepribadian di bidang budaya.
Definisi dengan
penjelasannya di atas, pada dasarnya sejalan dengan apa yang diperjuangkan para
founding fathers bangsa ini, berupa dirumuskannya Pilar Sistem Ekonomi
Indonesia yang sejalan dengan agenda reformasi sosial dan kemudian dituangkan
dalam Pasal 33 UUD 1945. Pilar dimaksud meliputi tiga aspek berikut.
o
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan.
o
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
o
Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam pasal
tersebut, tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi dikerjakan oleh
semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggotaanggota masyarakat.
Dengan perkataan lain, dalam sistem ekonomi kerakyatan kemakmuran masyarakat
merupakan fokus utama, bukan kemakmuran individu. Oleh karena itu, perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Untuk lebih mudah
memahami konsep ekonomi kerakyatan, makna penggalan kalimat pertama yang
terdapat dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945. Penggalan dimaksud adalah sebagai
berikut.
“…dasar demokrasi ekonomi, produksi
dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan
kemakmuran orang-seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah
koperasi.”
Dengan pendekatan
di atas, dengan mudah kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan ekonomi
kerakyatan tidak lain adalah “demokrasi ekonomi” sebagaimana dimaksudkan
oleh penjelasan Pasal 33 UUD 1945 tersebut yang secara substansial, mencakup
tiga hal berikut.
a)
Adanya partisipasi penuh seluruh anggota masyarakat dalam proses
pembentukan produksi nasional. Karena dengan cara seperti ini lah semua anggota
masyarakat mendapat bagian dari seluruh hasil produksi nasional.
b)
Adanya partisipasi penuh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil
produksi nasional. Di bawah kondisi seperti ini tidak ada satu pun anggota
masyarakat—termasuk fakir miskin—yang tidak menikmati hasil produksi nasional.
c)
Pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional harus berada di
bawah pimpinan atau penilikan anggota masyarakat. Dalam sistem ekonomi
kerakyatan, kedaulatan ekonomi harus berada di tangan rakyat. Hal ini bertolak
belakang dengan sistem ekonomi pasar, khususnya neoliberal, di mana kedaulatan
ekonomi sepenenuhnya berada di tangan pemilik modal. Kegiatan pembentukan
produksi nasional boleh dilakukan oleh para pemodal asing, namun kegiatan tersebut
harus tetap berada di bawah pengawasan dan pengendalian masyarakat.
Berkaitan dengan
definisi ekonomi kerakyatan yang secara tegas dinyatakan memiliki karakteristik
yang ideal yakni berkeadilan sosial, Mubyarto (2002) mengemukakan bahwa
moral pembangunan yang mendasari paradigma pembangunan yang berkeadilan sosial
mencakup 6 aspek berikut.
1)
Peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat baik laki-laki maupun
perempuan dengan otonomi daerah yang penuh dan bertanggung jawab.
2)
Penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan system
dan kebijakan ekonomi.
3)
Pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan
multikultural.
4)
Pencegahan kecenderungan disintegrasi sosial.
5)
Penghormatan hak-hak asasi manusia (HAM) dan masyarakat.
6)
Pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.
_____________
1). Makalah untuk Acara DISKUSI EKSTERNAL oleh
Himpunan Eksekutif Mahasiswa Manajemen, Senin 30 September 2013, jam
13.00-15.30 di Hall FEB UMS.
2). Dosen tetap FEB-UMS Kepala Pusat Pengembangan Ekonomi (PPE) FEB UMS
2). Dosen tetap FEB-UMS Kepala Pusat Pengembangan Ekonomi (PPE) FEB UMS
Langganan:
Postingan (Atom)